Hukuman Mati

| |

Sebelum saya berikan pendapat tentang topik yang hangat akhir-akhir ini tentang hukuman mati, ada baiknya kita melihat fata bahwa negara yang tidak menerapkan hukuman mati lebih banyak dari yang tidak menerapkan humuman mati (Data akuratnya dapat dirujuk ke Amnesty Internasional). Hal ini tentunya dapat menyimpulkan bahwa mayoritas manusia menolak hukuman ini sebagai pilihan.

Berbagai opini dan beberapa diantaranya menjadi perdebatan dalam forum bukan saja pertarungan antara keyakinan yang diusung oleh kitab suci berbagai agama, namun juga didasari cara pandang individu dan pengalaman seseorang atas kejadian yang dialaminya, namun juga relevansinya dengan konteks dimana hukuman mati tersebut akan diberlakukan. (Meminjam istilah seorang sahabat saya penulis – Makaarim)

Maka agar tidak terlalu jauh dengan pengaruh bagaimana saya berpendapat, maka saya pikir saya harus merujuk kepada makna hidup sebenarnya bahwa tidak ada satu manusiapun yang punya hak melakukan putusnya terminasi kehidupan (baca: mematikan seseorang – memisahkan nafas dari seseorang) Justru di sisi lain seorang manusia dapat mendukung perpanjangan hidup sesuai kemampuannya. Hal inilah yang menjadi pola pikir dasar teknologi kedokteran sehingga membedakan mengapa dulu orang sakit lepra saja banyak yang meninggal sedangkan sekarang tidak.

Dalam konteks mengapa seseorang menuntut agar seorang yang bersalah (kasus menghilangkan nyawa dll) dihukum dengan menghilangnya nyawanya juga (hukuman mati), saya pikir didasari oleh ‘keadilan manusiawi’ yang dipahaminya. 

Jika kita tarik ke ranah yang lebih dekat ke kehidupan kita sendiri, mampukah kita mengorbankan nyawa kita agar nyawa anak kita terselamatkan? Saya pikir seorang ayah akan mampu (semoga). Lantas apakah itu masuk akal jika kita bawa kepada justifikasi ‘keadilan dunia’ yang kita pahami? Tentu tidak, menurut saya.

Jadi, saya pikir mengupayakan kematian orang adalah ‘tindakan orang yang mengingkari keberadaan Tuhan - pencipta hidup’ dalam dirinya, dan hukuman mati hanyalah bentuk shortcut para ‘pemikir’ yang ‘habis pikir’ dalam mengatasinya.
Demikian, mhn maaf jika perspektif ini kurang dapat diterima.

Salam,
Lintong Simaremare | pengamat nilai-nilai sosial dan penulis buku best seller bread for friends

Posted by Unknown on 22.53. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "Hukuman Mati"

Leave a reply